Hayawan An-Natiq

Manusia disebutkan sebagai hayawan an-natiq, adalah hewan yang berakal. Allah swt. mengggunakan beberapa kata untuk menjelaskan sifat dari makhluknya. Pertama, Allah menggunakan istilah Al-Jamaad kepada makhluk yang diam saja. Tidak berkerak sama sekali. Jikapun bergerak, pastilah ada yang menggerakannya terlebih dahulu. Seperti kepada batu, batu tidak akan bergerak jika tidak ada makhluk lain yang menggerakan nya. 


Kedua, Allah menggunakan istilah An-Nabti kepada makhluk yang bergerak secara vertikal. Dari bawah ke atas. Makhluk ini bergeraknya hanya pada dua arah saja, jika tidak keatas, pasti kebawah. Makhluk yang memiliki sifat ini adalah tumbuhan. tumbuhan bergeraknya hanya keatas atau ke bawah saja. Jika ada yang kesampingm, itu hanya dari kaca mata manusia saja. Sejatinya, Gerakan tumbuhan itu hanya keatas atau kebawah saja.


Ketiga, Allah menggunakan istilah Al-Hayawan kepada makhluk yang bergerak kearah mana saja. makhluk yang tidak bisa diam, bergeraknya sangat bebas, keatas, bawah, samping, hingga melakukan Gerakan-gerakan yang baru. Makhluk yang memiliki sifat ini adalah manusia dan binatang. Manusia dan binatang berada dalam satu sifat yang sama. Sehingga sulit membedakan mana manusia dan mana binatang.

Maka, untuk membedakan antara manusia dan binatang, Alla swt. memakai istilah hayawan an-natiq hanya pada manusia saja. sebab, manusia diberikan hidayah aqli dan hidayah dien seteleh hidayah wijdan dan hidayah hawas. Yang dimana, binatang hanya memiliki hidayah wijdan dan hidayah hawas saja. 


Manusia diberikan hidayah Wijdan atau panca indra. Panca indra seringkali dianggap sebagai salah satu jalan menemukan ilmu pengetahuan. Dalam filsafat ilmu, panca indra termasuk dalam pengkajian empirisme. Sebab, dalam  empirisisme untuk menemukan pengalaman (aposteriori) menggunakan panca indra yang benar-benar ada(terlihat, terraba, dll). 


Sebagai manusia yang mengenal pengetahuan lewat pengalaman indrawinya sebagai sumber pengetahuan. Pancaindra yang sering sekali digunakan oleh manusia adalah indra penglihatan. Ketika di malam hari dan melihat bintang-bintang, indra penglihatan meyakinkan pada diri bahwa bintang itu sangat kecil. Akan tetapi jika melihat bintang-bintang dengan penglihatan keilmuan, maka bintang-bintang yang seakan-akan kecil itu ternyata sangat besar sekali.

Begitu kira-kira yang dikatan Imam Al-Ghazali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musibah: Media Melatih Tabah

Fungsi pendidik dalam Al-Quran adalah Dakwah

Panduan Memancing untuk Pemula