akal kudu nepi ka hate

             Sudah menjadi maklum bahwa kebebasan berfikir merupakan salah satu dampak dari pesatnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, utamanya dalam hal ini adalah filsafat maka tak sedikit intelektual muslim (demikian biasa disebut orang) yang kebablasan. Dengan gegap gempita mereka menyuarakan perlunya merekonstruksi kembali tatanan dan hukum-hukum agama yang telah baku sejak awal sejarah Islam. Ironinya, mereka senang mengutak-atik hal-hal yang telah clear and distinc (jelas dan tegas) dalam agama daripada membahas persoalan-persoalan aktual yang muncul yang belum ada pembahasan sebelumnya. Hal-hal yang mereka bahas itu -entah dengan motivasi apa dan karena siapa- di antaranya adalah masalah hukum waris, salam, gender, jilbab dan sejenisnya yang sebetulnya telah selesai dibahas dengan dalil-dalil yang autentik dan tegas keshahihannya, kecuali jika interpretasinya diplintir dan konstruksi kebenaran agama diporak-porandakan parameternya.

            Maka, bagaimana menempatkan akal dalam dinamika kajian-kajian ilmu agama? Seperti halnya pisau, ia memiliki manfaat sekaligus madharat. Pisau akan bermanfaat ketika digunakan sebagai alat yang meringankan pekerjaan seseorang. Misalnya untuk memotong daging, buah-buahan dan sebagainya. Tetapi, pisau juga bisa berbahaya ketika digunakan sebagai senjata melukai orang lain, apalagi -na’udzubillah- untuk membunuhnya. Demikian pula halnya dengan akal, ia adalah alat berfikir yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Dengan akalnya, manusia -dengan izin Allah- mampu mencapai kualitas iman yang sangat tinggi, mencapai puncak peradaban dan teknologi. Sebaliknya, dengan akal pula manusia bisa kalap dan berbuat apa saja, yang mengantar derajatnya menjadi lebih rendah dari binatang.

            Bila kita cermati kehidupan masyarakat, ada dua fenomena menonjol yang saling berlawanan tentang penggunaan akal, yang ironinya masing-masing menunjukkan ekstrimitas.
            Yang pertama adalah fenomena filsafat yang identik dengan kebebasan berfikir tanpa batas, tanpa mau mengenal petunjuk-petunjuk wahyu dan agama. Bahkan menjadi ‘sesuatu yang lucu dan dihinakan’ di kalangan filsuf bila ada yang berbicara filsafat memakai dalil-dalil agama.

            Karena itu, para filsuf besar lebih banyak ‘beragama’ filsafat, ilmu yang digelutinya tiap saat. Menuhankan akal pikirannya, atau bahkan tidak bertuhan sama sekali (atheis). Yang sangat memiriskan, tidak sedikit intelektual muslim yang bergelut dengan filsafat terkena pengaruh tradisi dan pola pikir filsafat. Implikasinya, nauzhubillah, mereka menyepelekan dalil-dalil agama, bahkan meskipun dalam urusan-urusan selain filsafat. Sebab dunia mereka adalah dunia akal pikiran, dunia yang menjauhi teks-teks agama/dalil.
            Dan karena keblinger, ada yang tak lagi mau menjalankan kewajiban agama, seperti shalat, puasa dan sebagainya, karena kewajiban-kewajiban tersebut bagi mereka tidak rasional. Na’udzubillah. Bahkan lebih melecehkan lagi, bagi para filsuf, sebagaimana dikutip Verhaak dan lainnya, ilmu agama tidaklah diakui sebagai ilmu karena bukan produk akal. Bagi mereka, ilmu yang sebenarnya adalah produk akal manusia, bukan produk sesuatu yang lain dan atau wahyu Tuhan. Na’udzubillah.

            Fenomena kedua adalah adanya kelompok manusia, juga sebagian umat Islam yang sangat meremehkan penggunaan akal. Bahkan kenyataan yang ada mengesankan, sebaiknya orang tidak usah berfikir dan menggunakan akalnya. Orang yang berbicara dengan metode berfikir yang runut, logis, kritis dan argumentatif serta merta dijuluki sebagai ‘aqlani, menyimpang dan sebagainya, padahal belum tentu menyimpang dari wahyu.  Akhirnya, orang kemudian takut berbicara, bahkan takut bertanya tentang syubhat dan berbagai pertanyaan agama yang masih menghantui fikirannya, karena jangan-jangan dituduh ‘aqlani atau sejenisnya. Implikasinya, mereka sulit berkembang dan maju. Padahal para ulama salafush shalih dahulu, sangatlah terkenal dengan cara berfikir yang kritis, logis dan argumentatif tetapi tetap di bawah koredor syar’i.. Sebut saja misalnya Ibnu Taimiyah, yang bahkan menguasai mantiq dan filsafat untuk menggempur orang-orang yang menyeleweng aqidahnya. Demikian pula dengan Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Albani dan lainnya. Mereka adalah para ulama yang tidak saja mendalam ilmu syar’inya, tetapi juga dikenal memiliki daya intelektual dan cara berfikir yang sangat brilian, untuk mendukung hujjah-hujjah mereka.

            Betapapun begitu, penggunaan akal tanpa batas, jelas jauh lebih sangat berbahaya dari mempensiunkan akal untuk berfikir. Sebab jika terlalu jauh, ia akan menuhankan akalnya, menjauhi ilmu syar’i dan imannya hilang.

Maka, hidup yang paling benar itu hidup dalam batasan-batasan agama.



Wallahu A'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musibah: Media Melatih Tabah

Fungsi pendidik dalam Al-Quran adalah Dakwah

Panduan Memancing untuk Pemula